Tuesday, August 26, 2014

Cara mengcopy artikel dari website maupun artikel yang tulisannya diprotect atau tidak bisa dicopy

Sebagai pengunjung blog atau tulisan, seringkali kita terkesima dan tertarik dengan tulisan yang dibuat oleh penulis atau pun sebagai referensi bagi studi kita sehingga kita harus mengcopy tulisan tersebut bila tidak tersedia file tulisannya untuk diunduh. Maka dari itu penulis ingin memberitahukan kepada para pembaca tips-tips agar kita bisa mengcopy paste tulisan yang diprotect.

      Bagaimana caranya mengcopy artikel yang di proteksi oleh pemilik blog?  Banyak orang mempertanyakan hal ini, bahkan tidak jarang banyak juga yang malah frustasi karena referensi mereka malah tidak bisa di ambil baik untuk di jadikan makalah, kliping atau skripsi. Sebenarnya alasan blogger tidak membolehkan orang mengcopy artikelnya sederhana, karena gak mau orang lain mempublish ulang hal yang sama.

    Nah sebenarnya gak susah-susah amat untuk mengcopy artikel yang di tidak bisa di copy, caranya hanya tinggal mematikan saja javascript nya lalu anda pasti sudah bisa mengcopy artikel yang ingin anda dapatkan.  Tapi ingat jangan karena udah bisa ambil artikel orang yang di proteksi, itu jadi cara curang anda untuk mengambil artikel orang dan main asal pasang di blog atau main asal untuk di komersilkan.

Ini adalah tutorialnya, silahkan baik-baik Cara Mengcopy Artikel di Blog Yang Tidak Bisa di Copy .
1. Masuk ke blog yang ingin anda ambil artikelnya
2. Pastikan anda menggunakan Chrome, Mozilla juga bisa tapi lebih enak chrome.
3. Masuk ke bagian setelan
4. Klik setelan konten
unduhan
4. Pilih Jangan izinkan situs apa pun menjalankan JavaScript

unduhan (1)
Nah kalau sudah begini, silahkan Reload atau Refresh artikel yang mau di copy  tadi, insya allah sudah bisa di copas. pada beberapa web mungkin akan terlihat berantakan karena javascriptnya dimatikan. tapi tetep masih bisa di copas kok artikelnya. Nah semoga artikel tentang Cara Mengcopy Artikel di Blog Yang Tidak Bisa di Copy ini bermanfaat buat anda yang membutuhkan.

Monday, August 11, 2014

Kisah Teladan : Gubuk yang Terbakar


     Setiap orang yang hidup memang tidak lepas dari perkara permasalahan dunia. Kita terkadang ditimpa berbagai macam permasalahan yang pelik dalam sekali waktu, baik itu dari keluarga, sekolah, kuliah, lingkungan sekitar atau tetangga, bahkan di lingkungan tempat kita bekerja sendiri pun terdapat banyak sekali masalah yang harus kita hadapi dan selesaikan. Untuk menghadapi semua permasalahan yang pelik tersebut, marilah kita baca dengan seksama kisah teladan di bawah ini, semoga bisa menjawab apa yang diharapkan oleh pembaca sekalian
   
     Badai yang menerjang sebuah kapal yang sedang berlayar di tengah laut lepas, dan menenggelamkan kapal itu. Beberapa orang penumpang kapal berhasil selamat. Ada seorang laki-laki, yaitu salah seorang penumpang kapal yang terjun dan mengikuti arus ombak. Laki-laki itu berusaha menyelamatkan diri dengan harapan supaya ombak membawanya ke tepian. Ternyata ia berhasil, ombak pun membawanya ke tepian. 

     Akhirnya ia terdampar ke tepi sebuah pulau yang tidak dikenal. Akhirnya dia sadar dari pingsan, dia menarik nafas, mencoba bangkit dan berdiri, namun ternyata tidak kuat. Dia tumbang dan terjatuh. Tidak seorang pun yang menghuni pulau itu, di tepi laut yang sepi itu, dia memanjatkan permohonan kepada Allah SWT. Dia berdoa kepada Alla SWT agar Dia memberinya pertolongan dan bisa selamat dari kondisi yang kritis ini.
Tidak disangka sudah beberapa hari dia lalui hari-harinya di pulau asing itu, dan tetap bertahan hidup. Alam sekitar pulau menjadi sangat akrab menemani hari-harinya. Untuk menyambung hidup dia makn buah-buahan dan memburu kelinci. Persediaan air tawar pun cukup banyak. Karena di pulau itu ada anak sungai yang menyediakan air tawar untuk menghilangkan rasa haus dan dahaga. Sebuah gubuk kecil dan sangat sederhana ia bangun, sekedar cukup untuk berteduh dari terik matahari yang menggigit, bisa tidur dan menyelimuti tubuhnya dari angin dan dinginnya cuaca malam hari.

     Pada suatu ketika, dia keluar untuk jalan-jalan dan berkeliling tidak jauh dari gubuknya seraya melihat apakah ada buah-buahan yang sudah matang dan bisa dipetik. Setelah mengelilingi kawasan tersebut, dia kembali pulang ke gubuknya. Ternyata gubuk dan sekelilingnya sudah dilahap oleh si jago merah. Dia berteriak sambil berontak, “Ya Tuhan, mengapa ini harus terjadi? Semua yang kumiliki di dunia ini sirna begitu saja. Padahal aku hanya seorang diri di pulau ini. Mengapa tiba-tiba gubuk kecil tempat aku tidur terbakar? Mengapa semua peristiwa ini terjadi padaku?” teriak laki-laki itu dengan penuh kekesalan dan kesedihan. Karena begitu kuat teriakannya, energinya terkuras habis. Dia tidak kuat dan tidak berdaya lagi, hingga akhirnya tertidur pulas dalam keadaan menahan lapar.

     Keesokan harinya dia terbangun. Setelah membuka mata, dia terkejut. Ternyata ada sebuah kapal besar datang menghampiri pulau itu. Beberapa orang awak kapal turun menolongnya. Sebelum naik, dia bertanya kepada mereka “Bagaimana kalian bisa menemukan aku di sini?” salah seorang awak kapal menjawab, “Dari kejauhan kami melihat ada asap mengepul hitam dan kobaran api di pulau ini. Sepengetahuan kami, itu pertanda ada seseorang yang sedang meminta pertolongan.”

     Maha Suci dan Maha Agung, Dzat yang memberi tahu keadaan hamba-Nya yang sedang terjepit. Maha Suci Dzat yang mengatur segala sesuatu yang ada di alam semesta ini tanpa diketahui oleh hamba-hamba-Nya.

     Nah, jika Anda mengalami kondisi yang sangat terpuruk, jangan takut. Anda hanya dituntut untuk percaya dan yakin akan ada hikmah yang tersirat di balik itu. Berprasangka baiklah dengan yang Anda alami. Ketika gubuk Anda terbakar, ketahuilah bahwa Allah SWT sedang menolong kita dan percayalah Allah akan menggantinya dengan sesuatu yang lebih berharga nanti di akhirat kelak, percayalah.

Daftar Pustaka :
      Khalifah, Mahmud. 2011. Belajar dari Ayat-ayat Allah yang Tersirat. Jakarta: Tim Pustaka Al-Fadillah.

Thursday, August 7, 2014

Keutamaan dan Amalan Bulan Syawal

Tak terasa bulan Ramadhan telah kita lewati dengan aktivitas berpuasa sebulan penuh dan kini kita memasuki bulan Syawal yang di awali dengan perayaan hari raya Idul Fitri. Ketahuilah saudara-saudaraku, bukan hanya bulan Ramdhan yang memiliki keutamaan dan amalan-amalan yang bisa kerjakan di dalamnya, namun bulan Syawal pun ada.
Termasuk rahmat Allah kepada para hambaNya, Dia menjadikan amalan sunnah pada setiap jenis amalan wajib, seperti shalat, ada yang wajib ada yang sunnah, demikian pula puasa, shodaqoh, haji dan lain sebagainya.
Ketahuilah wahai saudaraku seiman –semoga Allah merahamtimu- bahwa adanya amalan-amalan sunnah tersebut memiliki beberapa faedah bagi umat manusia:
  1. Menyempurnakan kekurangan pada amalan wajib, sebab bagaimanapun seorang telah berusaha agar ibadah wajibnya sempurna semaksimal mungkin namun tidak luput dari kekurangan. Di sinilah peran amalan sunnah untuk menutup lubang-lubang tersebut.
  2. Menambah pahala disebabkan bertambahnya amal shaleh
  3. Menggapai kecintaan Allah
  4. Menambah keimanan seorang hamba
  5. Menambah kuatnya hubungan seorang hamba dengan Robbnya
  6. Merupakanmedanuntuk berlomba-lomba dalam ketaatan
  7. Mendorong hamba dalam melakukan  amalan wajib, sebab sepertinya mustahil kalau ada seorang yang rajin mengamalkan perkara sunnah tetapi mengabaikan amal yang wajib
  8. Pembuka  amalan wajib
  9. Penutup pintu bid’ah dalam agama
  10. Mencontoh Nabi dan para salaf shalih.[194]
       Diantara amalan sunnah tersebut adalah puasa syawwal. Berikut ini beberapa pembahasan tentang puasa syawal. Semoga bermanfaat.

1. Disyari’atkannya Puasa Enam Hari Pada Bulan Syawwal

Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam banyak hadits, di antaranya hadits Abu Ayyub dan Tsauban berikut:
عَنْ أبِي أَيُّوْبَ اْلأَنْصَارِيِّ  أَنَّ رَسُوْلُ اللهِ n قَالَ: مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَ أَْتبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَهْرِ
Dari Abu Ayyub al-Anshari a/ bahwasanya Rasulullah n/ bersabda, “Barangsiapa berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari bulan Syawwal, maka dia seperti berpuasa satu tahun penuh.”[195]
عَنْ ثَوْبَانَ مَوْلَى رَسُوْلِ اللهِ n عَنْ رَسُوْلِ اللهِ n أَنَّهُ قَالَ: مَنْ صَامَ سِتَّةَ أَيَّامٍ بَعْدَ الْفِطْرِ كَانَ تَمَامَ السَنَّةِ. مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشَرُ أَمْثَالِهَا
Dari Tsauban, budak Rasulullah n/, bahwasanya beliau n/ bersabda, “Barangsiapa berpuasa enam hari setelah hari raya Idul Fithri, maka seperti telah berpuasa setahun penuh. Barangsiapa berbuat satu kebaikan, maka baginya sepuluh lipatnya.”[196]
Puasa enam hari bulan syawwal hukumnya sunnah, baik bagi kaum pria maupun wanita. Hal ini merupakan pendapat mayoritas ahli ilmu seperti diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Ka’b al-Akhbar, Sya’bi, Thawus, Maimun bin Mihran, Abdullah bin Mubarok, Ahmad bin Hanbal dan Syafi’i.[197]
Imam Nawawi berkata: “Dalam hadits ini terdapat dalil yang jelas bagi madzhab Syafi’i, Ahmad, Dawud beserta ulama yang sependapat dengannya mengenai sunnahnya puasa enam hari bulan Syawwal.”[198]
Ibnu Hubairah berkata: “Mereka bersepakat tentang sunnahnya puasa enam hari Syawal kecuali Abu Hanifah dan Malik yang mengatakan bahwa hal itu dibenci dan tidak disunnahkan”.[199]
Alangkah bagusnya ucapan Al-Allamah al-Mubarakfuri: “Pendapat yang menyatakan dibencinya puasa enam hari Syawwal merupakan pendapat yang bathil dan bertentangan dengan hadits-hadits shahih. Oleh karena itu, mayoritas ulama Hanafiyah berpendapat tidak mengapa seorang berpuasa enam hari Syawwal tersebut. Ibnu Humam berkata[200]: “Puasa enam hari Syawwal menurut Abu Hanifah dan Abu Yusuf makruh (dibenci) tetapi ulama Hanafiyah berpendapat bahwa hal itu tidak mengapa”.[201]

2. Keutamaan puasa enam hari Syawwal.

                 Yaitu dihitung seperti puasa setahun penuh, karena satu kebaikan berkelipatan sepuluh. Satu bulan 30 hari x 10 = 10 bulan, dan enam hari 6 x 10 = 2 bulan. Jadi, jumlah seluruhnya 12 bulan = 1 tahun. Hal ini sangat jelas dalam riwayat Tsauban.
                 Namun hal ini bukan berarti dibolehkan atau disunnahkan puasa dahr (setahun) sebagaimana anggapan sebagian kalangan, karena beberapa sebab:
     Pertama: Maksud perumpamaan Nabi di atas adalah sebagai anjuran dan penjelasan tentang keutamaannya, bukan untuk membolehkan puasa dahr (setahun) yang jelas hukumnya haram dan memberatkan diri, apalagi dalam setahun seorang akan berbenturan dengan hari-hari terlarang untuk puasa seperti hari raya dan hari tasyriq.
     Kedua: Nabi telah melarang puasa dahr. Kalau demikian, lantas mungkinkah kemudian hal itu dinilai sebagai puasa yang dianjurkan?!
     Ketiga: Nabi bersabda: “Sebaik-baik puasa adalah puasa Dawud, beliau sehari puasa dan sehari berbuka”. Hadits ini sangat jelas sekali menunjukkan bahwa puasa Dawud lebih utama daripada puasa dahr sekalipun hal itu lebih banyak amalnya.[202]

3. Beberapa Faedah Puasa Syawal

Membiasakan puasa setelah ramadhan memiliki beberapa faedah yang cukup banyak, diantaranya:
  1. Puasa enam hari syawal setelah ramadhan berarti meraih pahala puasa setahun penuh
  2. Puasa syawal dan sya’ban seperti shalat sunnah rawatib sebelum dan sesudah shalat fardhu, untuk sebagai penyempurna kekurangan yang terdapat dalam fardhu
  3. Puasa syawal setelah ramadhan merupakan tanda bahwa Allah menerima puasa ramadhannya, sebab Allah apabila menerima amal seorang hamba maka Dia akan memberikan taufiq kepadanya untuk melakukan amalan shalih setelahnya
  4. Puasa syawal merupakan ungkapan syukur setelah Allah mengampuni dosanya dengan puasa ramadhan
  5. Puasa syawwal merupakan tanda keteguhannya dalam beramal shalih, karena amal shalih tidaklah terputus dengan selesainya ramadhan tetapi terus berlangusng selagi hamba masih hidup.[203]

4. Haruskah berturut-turut setelah Idul Fithri?!

Ash-Shon’ani berkata: “Ketahuilah bahwa pahala puasa ini bisa didapatkan bagi orang yang berpuasa secara berpisah atau berturut-turut, dan bagi yang berpuasa langsung setelah hari raya atau di tengah-tengah bulan”.[204]
An-Nawawi berkata: “Afdhalnya, berpuasa enam hari berturut turut langsung setelah Idhul Fithri. Namun jika seseorang berpuasa Syawwal tersebut dengan tidak berturut-turut atau berpuasa di akhir-akhir bulan, dia masih mendapatkan keutamaan puasa Syawwal, berdasarkan konteks hadits ini.”[205] Yakni keumuman sabda Nabi “enam hari bulan syawal”.[206]
Inilah pendapat yang benar. Jadi, boleh berpuasa secara berturut-turut atau tidak, baik di awal, di tengah maupun di akhir bulan Syawwal. Namun, yang lebih utama adalah bersegera melakukan puasa Syawwal karena beberapa sebab:
Pertama: Bersegera dalam beramal shalih
Kedua: Agar tidak terhambat oleh halangan dan godaan syetan sehingga menjadikannya tidak berpuasa
Ketiga: Manusia tidak tahu kapan malaikat maut  menjemputnya.
Dengan demikian, maka kita dapat mengetahui kesalahan keyakinan sebagian masyarakat yang mengatakan bahwa puasa sunnah syawwal harus pada hari kedua setelah hari raya, bila tidak maka sia-sia puasanya!!

5. Bila Masih Punya Tanggungan Puasa Ramadhan

            Apabila seorang ingin berpuasa Syawwal tetapi dia masih memiliki tangungan puasa ramadhan, bagaimana hukumnya?!
            Al-Hafizh Ibnu Rajab berkata: “Barangsiapa yang mempunyai tanggungan puasa Ramadhan, kemudian dia memulai puasa enam syawal, maka dia tidak mendapatkan keutamaan pahala orang yang puasa ramadhan dan mengirinya dengan enam syawal, sebab dia belum menyempurnakan puasa ramadhan”.[207]
            Syaikh Muhammad Shalih al-Utsaimin berkata: “Puasa enam syawal berkaitan dengan ramadhan, dan tidak dilakukan kecuali setelah melunasi tanggungan puasa wajibnya. Seandainya dia berpuasa syawal sebelum melunasinya maka dia tidak mendapatkan pahala keutamaannya, berdasarkan sabda Nabi: “Barangsiapa puasa ramadhan kemudian dia menyertainya dengan enam hari syawal maka seakan-akan dia berpuasa setahun penuh”.
            Dan telah dimaklumi bersama bahwa orang yang masih memiliki tanggungan puasa ramadhan berarti dia tidak termasuk golongan orang yang telah puasa ramadhan sampai dia melunasinya terlebih dahulu. Sebagian manusia keliru dalam masalah ini, sehingga tatkala dia khawatir keluarnya bulan syawal maka dia berpuasa sebelum melunasi tanggungannya. Ini adalah suatu kesalahan”.[208]

6. Kalau Memang Ada Udzur Sehingga Keluar Bulan Syawwal

            Bagaimana kalau seseorang tidak bisa melakukan puasa syawal karena ada udzur seperti sakit, nifas atau melunasi hutang puasanya sebanyak sebulan, sehingga keluar bulan syawal. Apakah dia boleh menggantinya pada bulan-bulan lainnya dan meraih keutamaannya, ataukah tidak perlu karana waktunya telah keluar?! Masalah ini diperselisihkan oleh ulama:
1. Boleh menggodho’nya karena ada udzur. Pendapat ini dipilih oleh Syaikh Abdur Rahman as-Sa’di[209] dan Syaikh Ibnu Utsaimin[210]. Alasannya adalah menqiyaskan dengan ibadah-ibadah lain yang bisa diqodho’ apabila ada udzur seperti shalat.
2. Tidak disyariatkan untuk mengqodho’nya apabila telah keluar bulan syawal, baik karena ada udzur atau tidak, karena waktunya telah lewat. Pendapat ini dipilih oleh syaikh Abdul Aziz bin Baz[211].
            Pendapat kedua inilah yang tentram dalam hati penulis, karena qodho’ membutuhkan dalil khusus dan tidak ada dalil dalam masalah ini. Wallahu A’lam.[212] Alhamdulillah, kalau memang dia benar-benar jujur dalam niatnya yang seandainya bukan karena udzur tersebut dia akan melakukan puasa syawal, maka Allah akan memberikan pahala baginya, sebagaimana dalam hadits:
إِذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ كُتِبَ لَهُ مِثْلَ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيْمًا صَحِيْحًا
Apabila seorang hamba sakit atau bepergian, maka dia ditulis seperti apa yang dia lakukan dalam muqim sehat. [213]

7. Menggabung Niat Puasa

            Kalau ada orang yang berpuasa syawwal dan ingin menggabungnya dengan qodho’ puasa ramadahan, atau dengan puasa senin kamis, atau tiga hari dalam sebulan, bagaimana hukumnya?! Menjawab masalah ini, hendakanya kita mengetahui terlebih dahulu sebuah kaidah berharga yang disebutkan oleh al-Hafizh Ibnu Rojab, yaitu “Apabila berkumpul dua ibadah satu jenis dalam satu waktu, salah satunya bukan karena qodho’ (mengganti) atau mengikut pada ibadah lainnya, maka dua ibadah tersebut bisa digabung jadi satu”.[214]
            Jadi, menggabung beberapa ibadah menjadi satu itu terbagi menjadi dua macam:
Pertama: Tidak mungkin digabung, yaitu apabila ibadah tersebut merupakan ibadah tersendiri atau mengikut kepada ibadah lainnya, maka di sini tidak mungkin digabung.
Contoh: Seorang ketinggalan shalat sunnah fajar sampai terbit matahari dan datang waktu sholat dhuha, di sini tidak bisa digabung antara shalat sunnah fajar dan shalat dhuha, karena shalat sunnah fajar adalah ibadah tersendiri dan shalat dhuha juga ibadah tersendiri.
Contoh lain: Seorang sholat fajar dengan niat untuk shalat sunnah rawatib dan shalat fardhu, maka tidak bisa, karena shalat sunnah rawatib adalah mengikut kepada shalat fardhu.
Kedua:  Bisa untuk digabung, yaitu kalau maksud dari ibadah tersebut hanya sekedar adanya perbuatan tersebut, bukan ibadah tersendiri, maka di sini bisa untuk digabung.
Contoh: Seorang masuk masjid dan menjumpai manusia sedang melakukan shalat fajar, maka  dia ikut shalat dengan niat shalat fajar dan tahiyyatul masjid, maka boleh karena tahiyyatul masjid bukanlah ibadah tersendiri.[215]
            Nah, dari sini dapat kita simpulkan bahwa kalau seorang menggabung puasa syawwal dengan mengqodho’ puasa ramadhan maka hukumnya tidak boleh karena puasa syawal di sini mengikut kepada puasa ramadhan[216]. Namun apabila seseorang menggabung puasa syawwal dengan puasa tiga hari dalam sebulan, puasa dawud, senin kami maka hukumnya boleh. Wallahu A’lam.
            Demikianlah beberapa pembahasan yang dapat kami ketengahkan. Semoga bermanfaat.
_______________________________________________
Footnote:
[194] Min Fawaid Syaikhina Sami Abu Muhammad atas kitab Ar-Raudh al-Murbi’ al-Bahuti, kitab puasa.
[195] HR. Muslim 1164.
[196] Diriwayatkan Ibnu Majah 1715, ad-Darimi 1762, Nasa’i dalam Sunan Kubra 2810, 2861, Ibnu Khuzaimah 2115, Ibnu Hibban 928, dan Ahmad bin Hanbal dalam Musnadnya 5/280, ath-Thobarani dalam Mu’jamul Kabir 1451 dan Musnad Syamiyyin 485, ath-Thohawi dalam Musykil Atsar 1425, dan dishahihkan al-Albani dalam Irwa’ul Ghalil 4/107.
[197] Al-Mughni Ibnu Qudamah 4/438 dan Lathoiful Ma’arif Ibnu Rojab hal. 389
[198] Syarah Shahih Muslim 8/138,
[199] Al-Ifshoh 1/252
[200] Fathul Qodir 2/349
[201] Tuhfatul Ahwadzi 3/389
[202] Tahdzib Sunan 7/70-71 dan al-Manarul Munif hal. 39 Ibnu Qayyim
[203] Lathoiful Ma’arif Ibnu Rojab hal. 393-396
[204] Subulus Salam 4/127
[205] Syarh Muslim 8/238,
[206] lihat pula Masail Imam Ahmad 2/662
[207] Latha’iful Ma’arif  hal. 397
[208] Liqa’athi Ma’a Samahatis Syaikh Ibnu Utsaimin Dr. Abdullah ath-Thoyyar 2/79 dan Majmu’ Fatawa Ibnu Utsaimin 20/17-20
[209] Al-Fatawa Sa’diyyah hal. 230
[210] Syarh Mumti’ 7/467
[211] Majmu Fatawa Ibnu Baz 3/270, al-Fatawa Ibnu Baz -Kitab Da’wah 2/172, Fatawa Shiyam 2/694-695 kumpulan Asyrof Abdul Maqshud
[212] Simak kaset Fatawa Jeddah oleh Syaikh al-Albani no. 7  dan Ahkamul Adzkar Zakariya al-Bakistani hal. 51
[213] HR. Bukhari: 2996.
[214] Taqrir Qowaid 1/142
[215] Liqa’ Bab Maftuh Ibnu Utsaimin hal. 20. Lihat penjelasan tentang kaidah ini dan contoh-contohnya secara panjang dalam Taqrir Qowa’id Ibnu Rojab 1/142-158

Wednesday, August 6, 2014

Karya Tulis Ilmiah

1. Pengertian Tulisan Ilmiah
                Ada sementara orang yang masih membedakan antara tulisan dan karangan. Persepsi mereka biasanya mengaitkan kata tulisan dengan hal-hal yang bersifat ilmiah, sedangkan karangan mengacu pada hal-hal yang bersifat  fiktif atau rekaan. Namun sebenarnya makna kata tulisan sama dengan keterangan. Dengan demikian orang yang melakukan kegiatan menulis berarti ia melakukan kegiatan mengarang. Hasil kegiatan menulis atau mengarang ini bagaimana pun bentuknya kita sebut sebagai tulisan atau pun karangan tanpa membedakan itu ilmiah atau pun tidak.
                Tulisan atau karangan pada hakikatnya merupakan organisasi ide atau pesan secara tertulis. Jika kata itu dikaitkan dengan kata ilmiah, maka hasil organisasi ide atau pesan itu disebut tulisan ilmiah. Tulisan ilmiah adalah tulisan yang didasari oleh hasil pengamatan, peninjauan, penelitian dalam bidang tertentu dengan sistematika penulisan yang bersantun bahasa dan isinya dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya (keilmiahannya).
Dengan demikian sebuah tulisan dapat disebut tulisan ilmiah apabila:
(1) Mengandung suatu masalah beserta pemecahannya.
Masalah tersebut hendaknya mampu memberi respon kepada audiens (pembaca) sehingga ia ingin mengetahui pemecahan masalah yang kita kemukakan. Agar pembaca terangsang untuk     membaca apa yang kita tulis, maka hendaknya kita selalu menampilkan persoalan yang menarik dan masih hangat-hangatnya dibicarakan. Setelah kita memberikan masukan masalah yang baru dan segar, kita harus mampu pula berkiat untuk memberikan pemecahan-pemecahan terhadap persoalan yang kini diajukan.
(2) Masalah yang dikemukakan harus objektif.
Sesuai dengan realita yang ada dan bukan semata-mata hasil rekan penulis atau angan-angan yang tanpa didasari landasan berpikir ilmiah.
(3) Tulisan harus lengkap.
Maksudnya semua segi yang terkait dengan masalah yang dibicarakan harus dikemukakan secara lengkap dan jelas dalam tulisan tersebut.
(4) Tulisan harus disusun dengan metode tertentu.
Hal ini harus dilakukan sehingga dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya dan keobjektifannya.
(5) Tulisan harus disusun menurut sistem tertentu.
Hal ini yang membuat tulisan mudah dimengerti dan berkoherensi (berkesinambungan).

2. Ciri-ciri Tulisan Ilmiah
                Ada beberapa ciri yang menandai sebuah tulisan ilmiah. Ciri-ciri tersebut adalah:
(1) Logis, yakni segala keterangan atau pun informasi yang disajikan memiliki argumentasi yang dapat diterima dengan akal sehat.
(2) Sistematis, yakni segala yang dikemukakan disusun berdasatkan urutan yang berjenjang dan berkesinambungan .
(3) Objektif, yakni segala keterangan atau informasi yang dikemukakan itu menurut apa adanya dan tidak bersifat fiktif (rekaan).
(4) Tuntas dan menyeluruh, yakni segi-segi masalah yang dikemukakan ditelaah secara lengkap/menyeluruh.
(5) Seksama, yakni berusaha menghindarkan diri dari berbagai kesalahan, betapapun kecilnya.
(6) Jelas, yakni segala keterangan yang dikemukakan dapat mengungkapkan maksud secara jernih.
(7) kebenarannya dapat teruji.
(8) Terbuka, artinya sesuatu yang dikemukakan itu dapat berubah seandainya muncul pendapat baru.
(9) Berlaku umum, yakni kesimpulan-kesimpulannya berlaku bagi semua populasinya.
(10) Penyajiannya memperhatikan santun bahasa dan tata tulis yang sudah baku.

3. Syarat-syarat Tulisan Ilmiah
                Hal pokok yang harus diperhatikan dalam tulisan ilmiah adalah tulisan itu harus mampu memberi pemahaman kepada pembaca atas tulisan yang telah dibuat. Untuk mencapai target tulisan ilmiah yang baik, maka tulisan itu harus memenuhi kriteria seperti yang diutarakan oleh Benjamin Frakklin yang disitir Deborah C. Andrews (1978: 68-69), yakni:
                Good writing should procced regularly from things unknown distinctly and clearly without confusion. The words used should be the most expressive that the language affords, provided that they are the most generally understood. Nothing should be expressed in two words that can be as well expressed in one; that is, no synonyms should be used, or very rarely, but the whole should be as short as possible, consistent with clearness; the word should be so placed as to be agreeable to ear in reading; summarily it should be smooth, clear, and short, for the contrary qualities are displeasing.
                Jadi tulisan dapat dianggap baik apabila tulisan itu mampu menjelaskan dari sesuatu yang belum diketahui secara jelas dan ringkas, tanpa membingungkan pembaca. Secara lebih terperinci Andrews (1978:3) mengemukakan lima prinsip dasar sebagai patokan tulisan yang baik yakni:
(1) accurate
(2) clear
(3) concise
(4) conventional
(5) appropriate
Kelima kriteri penulisan yang baik tersebut dapat dijelaskan pada uraian berikut:
(1) Tulisan yang baik bersifat akurat (Good writing is accurate)
     Yang dimaksud dengan akurat disini adalah tulisan itu memberikan gambaran apa adanya tanpa memutarbalikkan fakta. Misalnya, kita menulis tentang kehidupan masyarakat di pedalaman Irian Jaya. Untuk mendapatkan daya yang akurat, kita tidak hanya percaya pada sekelompok orang yang tinggal disana untuk kemudian kita menggali data dengan berbagai cara. Misalnya kita mengadakan wawancara dengan pihak Pemerintah Daerah setempat tentang keadaan desa atau daerah yang akan kita teliti mulai dari tingkat pendidikan sampai ke masalah sosial budaya. Setelah data itu terkumpul, kemudian data itu kita olah dengan disertai referensi-referensi yang mendukung (mulai pendidikan sampai budaya), sehingga akan menghasilkan suatu tulisan yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya/keilmuannya.
(2) Tulisan yang baik bersifat jelas (Good writing is clear)
     Tulisan dapat dikatakan jelas apabila isinya dapat dengan mudah dimengerti atau dipahami oleh pembaca. Untuk mencapai kejelasan suatu tulisan, maka penulis harus mampu mengungkapkan idenya dengan bahasa yang baik tanpa menyulitkan pembaca untuk memahaminya, dan agar tidak menimbulkan salah tafsir pembaca terhadap apa yang kita tulis.
(3) Tulisan yang baik bersifat ringkas (Good writing is concise)
     Yang dimaksud dengan ringkas bahwa tulisan itu langsung mengenai ke permasalahan, tanpa memanjanglebarkannya sehingga semakin mengaburkan ide pokoknya. Hal ini dapat ditempuh dengan penggunaan kata-kata, kalimat-kalimat, atau alinea-alinea yang efektif, dan kepiawaian penulis dalam merumuskan ide-idenya dalam suatu kalimat yang efektif dan tersaji dalam alinea yang utuh. Dengan demikian pembaca akan mudah memahami setiap ide yang tertuang dalam setiap alinea, dan pada akhirnya dengan mudah dan cepat bisa memahami tulisan itu secara keseluruhan. Untuk mendalami pemakaian kalimat yang efektif akan dibicarakan tersendiri pada postingan selanjutnya.
(4) Tulisan yang baik bersifat konvensional (Good writing is conventional)
     Konvensional disini artinya konvensional dalam penggunaan bahasa (ejaan, kata, frase, kalimat) dan juga konvensional dalam hal kepenulisan. Konvensional dalam penggunaan bahasa misalnya, bagaimana menuliskan unsur serapan, huruf besar, kata ulang, dan sejenisnya. Sedangkan konvensional dalam hal kepenulisan dapat berupa; bagaimana menyusun sistematika tulisan, bibliografi, catatan kaki (footnote), dan sebagainya.
(5) Tulisan yang baik bersifat padu atau utuh (Good writing is appropriate)
     Yang dimaksud dengan padu atau disini adalah apabila ketiga hal (materi, tujuan, dan pembaca) dapat terjalin dengan baik. Maksudnya, penulis sebagai perantara harus bisa merengkuh materi, bentuk, dan cara mengekspresikan yang bersatu dalam suatu wacana informasi yang tepat dan serasi tentang materi yang ditulisnya dan kepada siapa tulisan itu ditujukan.

4. Bentuk-bentuk Tulisan Ilmiah
    Secara umum tulisan ilmiah dapat dibeda-bedakan berdasarkan tingkatan kajian permasalahan tulisan itu. Ada tulisan yang mengkaji masalah secara sederhana, tetapi ada pula tulisan ilmiah yang mengkaji permasalahan sampai detail. Bandingkan saja kalian masalah antara paper dengan tesis, demikian pula dengan disertasi. Sedang yang termasuk tulisan ilmiah adalah: laporan, makalah, skripsi, tesis, disertasi, buku/diktat.
4.1  Laporan
                Laporan adalah suatu tulisan yang dibuat oleh seseorang setelah melakukan percobaan, peninjauan, observasi, pembacaan buku (referensi) dan sebagainya. Laporan disusun berdasarkan data yang ada dengan disertai penilaian baik buruknya secara objektif serta saran-saran seperlunya. Hal lain yang harus diperhatikan oleh penulis laporan adalah hendaknya laporan itu dapat mengemukakan permasalahan yang dilaporkan secara benar, jelas, detail dan ringkas.
4.2 Makalah
                Makalah pada dasarnya merupakan tulisan yang berisikan prasaran, pendapat uang turut membahas suatu pokok persoalan yang akan dibacakan dalam rapat kerja, symposium, seminar, dan sejenisnya. Istilah makalah itu sendiri terkadang dikaitkan dengan karya tulis di kalangan siswa/mahasiswa, yakni segala jenis tugas tertulis yang berhubungan dengan bidang studi, hasil pembahasan buku atau tulisan tentang suatu persoalan. Hanya saja penamaan tugas siswa/mahasiswa ini sering dikatakan paper dibandingkan makalah, meski antara keduanya mengandung makna yang sama.
4.3 Skripsi
                Skripsi merupakan karya ilmiah yang ditulis berdasarkan hasil penelitian ataupun telaah pustaka sebagai prasyarat untuk memperoleh gelar sarjana di jenjang perguruan tinggi dan dipertahankan di depan siding ujuan. Pada waktu dahulu, skripsi digunakan untuk memperoleh gelar sarjana muda (B.A., B.Sc., dan sebagainya). Sedang untuk masa sekarang skripsi merupakan karya ilmiah untuk memenuhi salah satu persyaratan mencapai gelar sarjana strata satu (S1).
4.4 Tesis
                Tesis merupakan karya ilmiah yang tarafnya lebih dalam dan lebih metodis daripada skripsi. Pada waktu yang lampau pun istilah ini dikaitkan dengan persyaratan pemerolehan gelar sarjana strata satu (S1). Namun sesuai dengan Surat Edaran Bersama antara MENDIKBUD dan Kepala BAKN Nomor 61395/MPK/1987 dan Nomor 21/SE/1987 tertanggal 28 September 1987 ditegaskan bahwa tesis merupakan karya tulis ilmiah untuk memenuhi salah satu persyaratan mencapai gelar sarjana strata dua (S2). Perbedaan istilah antara skripsi dan tesis ini dimaksudkan untuk menegaskan batas pengertian antara keduanya, dimana sebelumnya istilah ini sering dikacaukan dalam pemakaiannya.
4.5 Disertasi
                Disertasi merupakan karya tulis ilmiah untuk memenuhi salah satu persyaratan mencapai gelat sarjana strata tiga (S3). Disertasi ini ditujukan untuk mencapai gelar Doktor (Dr.), yakni gelat tertinggi yang diberikan oleh suatu perguruan tinggi. Masalah yang dibahas dalam disertasi ini sudah barang tentu lebih kompleks dan detail dibandingkan dengan tesis maupun skripsi. Sedangkan penulisan disertasi ini dibimbing oleh seorang promotor yang telah berpangkat professor (Prof.).
4.6 Buku/Diktat
                Buku ataupun diktat juga merupakan bentuk tulisan ilmiah. Baik buku maupun diktat memberikan informasi yang factual tentang suatu disiplin ilmu. Meski keduanya memberikan data yang tersaji secara sistematis dan metodis, namun antara keduanya terdapat perbedaan yang cukup jelas. Buku ditulis oleh pengarang untuk menjelaskan atau memperkenalkan isinya untuk keadaan yang lebih umum. Buku umumnya dicetak oleh suatu penerbit. Sedangkan diktat ditulis dalam suatu keadaaan tertentu dan untuk mengarahkan proses belajar mahasiswa ataupun siswa. Diktat bisa distensil saja, bukan oleh penerbit, tetapi dalam lingkungan sendiri (Fakultas, Jurusan, Sekolah, dan sebagainya).
                Dalam proses belajar mengajar, apabila sudah tersedia buku, sebaiknya kita menggunakan buku tersebut dan kita cukup membuat lembat edar (hand-out) sebagai tambahan materi dan penjelasan riil dari informasi buku yang telah tersedia. Tetapi apabila buku pokok tidak tersedia, maka kita dapat menyusun diktat sebagai media bantu dalam proses belajar mahasiswa maupun siswa.